Frekuensi perih yang semakin hari semakin tebal, bahkan kebal. Kicauan defensif yang tak terhiraukan serta uraian ludah yang tak bisa ditangkap sensor indera. Haruskah saya melakukan pemberontakkan besar-besaran? Andai saya bisa. Andai tidak ada buntut neraka di belakangnya.
Sunggingan ketir yang harus ditelan setiap hari, keluh dan peluh yang harus dibingkai menjadi suatu prosa pahit Parameter konvensional yang harus dimengerti dengan hati yang iklas. Saya belum mampu Tuhan! Haruskah saya berhenti di sini saja? Menyerah dengan kata kunci akhir yang sudah bisa ditebak? Mengikuti arus, membiarkan tubuh ini terbanting hingga tak ada daya untuk melawan? Andai saja memang tidak ada neraka di akhir perjalanan ini.
Yak, pembanding. Saya lupa memasukkan aktor baru dalam kotak sabun ini. Pembanding yang sempurna tanpa luka. Pembanding yang membuat aku lumpuh seketika mendengar namanya. Pembanding yang semua mata tau tanpa harus dijelaskan, tentu dia yang akan menjadi pusat perhatian. Pembanding impian. Andai saja, mengumpat tidak menjadikan saya ahli neraka.
Diam. Diam yang menyimpan penuh dendam dan amarah. Diam yang kutelan semua rasa perih dari dalam luka. Diam yang membawaku menuju bau surga, Andaikan Tuhan. Nadi ini letih. Nadi ini menyerah saat ini. Bolehkah saya meminta untuk .......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar